welcome to news science

Kamis, 26 Mei 2011

Wanita ketika safar(berpergian)

Polemik persyaratan adanya mahrom bagi wanita ketika safar banyak menimbulkan pro kontra. Berbagai alasan dilontarkan untuk memperkuat pendapat masing-masing. Bagaimana pendapat ulama mengenai hal ini?
Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang boleh tidaknya wanita pergi naik pesawat tanpa mahrom yang keamanannya terjamin ? Beliau menjawab, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:  “Seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali jika ada mahrom yang menyertainya.”  Beliau menyampaikan hal ini ketika beliau sedang khutbah di atas mimbar pada musim haji. Kemudian ada seorang laki-laki yang datang kemudian bertanya:  “Wahai Rasulullah, istri saya pergi haji sendirian sedang saya ikut dalam jihad ini dan itu.” Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pergilah haji bersama istrimu.”  (HR Bukhari [3006] dan Muslim [1341]).
Dalam hadits ini kita lihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamshallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya kepadanya: memerintahkan kepada laki-laki tersebut untuk meninggalkan jihad agar dapat pergi haji bersama istrinya dan Rasulullah
“Apakah istri anda aman ?” atau
“Apakah istri anda ditemani para wanita lain ?” atau
“Apakah istri anda bersama para tetangganya ?”

Berarti larangan ini bersifat umum untuk semua kepergian wanita tanpa muhrim.
Karena bahaya sangat mungkin tejadi meski dalam pesawat. Seorang suami yang hendak ditinggal istrinya yang akan naik pesawat, kapan ia pulang dari mengantar ? Ia akan pulang ketika istrinya sudah menanti keberangkatan pesawat di ruang tunggu.
Di ruang tunggu ini istrinya sendirian tanpa mahrom. Kalaupun seandainya suaminya juga ikut masuk ke ruang tunggu sampai istrinya naik pesawat. Apakah tidak mungkin bahwa pesawat tersebut kembali setelah menempuh perjalanan ? Kadang pesawat kembali ke bandara karena ada kerusakan tekhnis atau kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. Kalau seandainya pesawat dapat melanjutkan perjalanannya sampai tujuan tetapi bandara yang dituju tidak dapat menerima menerima kedatangan pesawat karena ada masalah di bandara atau cuaca yang tidak memungkinkan pesawat mendarat di bandara tersebut akhirnya pesawat di alihkan ke bandara lain. Ini mungkin terjadi. Atau seandainya pesawat tersebut tiba di tujuan tepat waktu, tetapi mahrom yang akan menjemput belum tiba karena suatu alasan mendadak.
Kalaupun kita katakan semua kemungkinan tadi tidak terjadi dan mahrom datang tepat waktu, tetap masalahnya siapa yang duduk disamping istri tersebut dalam pesawat ? Tidak selalu (bahkan sering, pent) orang yang duduk di sampingnya bukan wanita. Kadang-kadang yang duduk di sampingnya adalah laki-laki, bahkan bisa jadi laki-laki yang tidak beres. Ia mengajak wanita tersebut ngobrol, cerita, sampai tertawa dan mengambil nomor teleponnya sekaligus memberikan nomor teleponnya. Bukankah ini mungkin ? Siapa yang bisa selamat dari kondisi ini ?
Oleh karena itu, di sini anda temukan hikmah yang agung dari larangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas kepergian wanita tanpa mahrom, tanpa ada batasan.
Mungkin ada wanita yang mengatakan: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui yang ghaib, tidak mengetahui pesawat. Maka kita fahami sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut untuk kepergian wanita tanpa mahrom dengan menggunakan unta atau binatang lain, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu …tentang pesawat yang dapat menempuh jarak antara Thaif dan Riyadl dalam waktu satu seperempat jam, yang dulu bisa ditempuh dalam satu bulan penuh ?!
Jawabnya: Jika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui tetapi Rabb (Tuhan)nya Rasulullah Subhaanahu Wa Ta’ala mengetahui. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS An Nahl ayat 89)
Saya ingatkan saudara-saudara saya kaum muslimin dari gejala yang berbahaya ini, yaitu menganggap gampang bepergiannya wanita tanpa muhrim, demikian pula wanita yang berduaan dengan supir meski dalam kota, karena ini berbahaya. Sebagaimana saya ingatkan juga berduaannya saudara (kakak atau adiknya) suami dengan istri dalam rumah. Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya ketika beliau bersabda: “Hati-hatilah kalian masuk ke tampat wanita.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan saudara (kakak atau adiknya) suami ?” Beliau menjawab: “Saudara suami itu mati.” (HR Bukhari [5232] dan Muslim [2172]) maksudnya saya ingatkan dengan peringatan yang sangat keras.
Yang sangat mengherankan sebagian ulama -mudah-mudahan Allah memaafkan mereka- berpendapat: Maksud dari sabda “Saudara suami itu mati” artinya saudara suami itu pasti masuk ke tempat wanita sebagaimana halnya mati pasti akan datang pada setiap manusia.
(Dikutip dari : Fatawa Ibni ‘Utsaimin -rahimahullah- [2/852-853] lihat Al Fatawa asy Syar’iyyah fil masa-il al ‘ashriyyah min fatawa ‘ulamail baladil haram hal 450-452) Sumber: www.mediamuslim.info

Rabu, 25 Mei 2011

TULIP BUKAN ASLI BELANDA

Bunga tulip selalu diidentikkan dengan negara Belanda. Ribuan wisatawan datang ke Belanda hanya untuk mengagumi bunga yang cantik dan berwarna cerah ini, yang banyak ditanam di taman-taman negara Kincir Angin itu. Kota Keukenhof di Belanda, setiap tahunnya bahkan dikunjungi sekitar 800.000 orang dari seluruh dunia yang ingin menyaksikan keindahan aneka bunga tulip dalam Festival Tulip yang diselenggarakan setiap tahun di kota itu. Tak heran masih banyak orang yang beranggapan bahwa bunga tulip adalah bunga asli dari Belanda.

Bunga tulip sebenarnya bukan bunga asli Belanda, karena sebenarnya bunga ini berasal dari Asia Tengah dan Belanda sebenarnya berhutang budi pada kekhalifahan Islam Ustmaniyah di Turki, karena atas peran kekhilafahan Islam inilah Belanda sekarang jadi terkenal karena bunga tulipnya.

Bunga tulip sebenarnya bunga liar yang tumbuh di kawasan Asia Tengah. Orang-orang Turki yang pertama kali membudidayakan bunga ini pada di awal tahun 1000-an dan pada masa pemerintahan kekhalifahan Ustmaniyah, terutama pada masa kekuasaan Sultan Ahmed III (1703-1730) bunga tulip berperan penting, sehingga masa Sultan Ahmed III disebut juga sebagai "Era Bunga Tulip."

Pada masa itu, istana Sultan memiliki sebuah dewan khusus untuk membudidayakan bunga-bunga tulip. Dewan itu dipimpin oleh seorang Turki yang juga kepala perangkai bunga istana yang tugasnya memberikan penilaian pada kualitas berbagai jenis bunga tulip dan memberikan nama yang indah dan puitis bagi bunga-bunga itu antara lain dengan nama "Those that burn the heart", "Matchless Pearl", "Rose of colored Glass", "Increaser of Joy", "Big Scarlet", "Star of Felicity", "Diamond Envy", or "Light of the Mind".

Hanya bunga-bunga yang memiliki kualitas sempurna yang dimasukkan dalam daftar jenis-jenis bunga tulip itu, yaitu bunga tulip yang memenuhi standar dari ukuran tinggi dan kerampingan kelopak bunganya, bentuk helaian kelopaknya lancip dan jarak antar helaiannya sempit. Helaian kelopaknya harus halus tapi kuat, satu warna, ukuran lebar dan panjangnya pas. Tiga ratus tahun kemudian, komunitas holtikultura Belanda dan Inggris mengajukan baru memikirkan untuk melakukan klasifikasi bunga tulip yang sudah dilakukan jauh sebelumnya oleh ahli perangkai bunga Turki di kesultanan Ahmed III. 

Bunga tulip baru dikenal di Belanda pada abad ke-16 dan menjadi sangat populer di kalangan masyarakat kelas atas di negeri itu. Kata "tulip" sendiri berasal dari bahasa Turki yang artinya "sorban", semacam kain yang dililit untuk menutupi kepala. Tidak diketahui kapan persisnya negara Kincir Angin itu mulai membudidayakan bunga tulip itu, tapi disebut-sebut bunga tulip mulai dibawa ke Belanda pada sekitar tahun 1550-an oleh kapal-kapal yang berasal dari Istanbul.

Dokumentasi pertama tentang penanaman bunga tulip bertahun 1954 di Kebun Raya Universitas Leiden. Menurut catatan itu, bunga tulip yang ditanam di kebun raya universitas Leiden dibawa oleh Carolus Clusius dari Wina, Austria, penanggungjawab taman istana di Austria. Ketika itu, pengaruh budaya Turki sangat kuat di Austria terutama dari gaya berpakaian yang oriental dan tradisi minum kopi.

Memasuki abad ke-17, perekonomian Belanda tumbuh pesat dan memicu persaingan antara pecinta bunga tulip. Mereka berlomba-lomba mencari bunga tulip yang paling indah dan tidak segan-segan membayar dengan harga mahal untuk membeli bunga tulip itu. Harga bunga tulip di Belanda pun makin mahal, bahkan kabarnya ada jenis bunga tulip yang harganya sama dengan harga sebuah rumah. Tahun 1635, satu set bunga tulip yang berjumlah 40 tangkai dijual dengan harga 100.000 florin, bandingkan dengan pendapatan kalangan kelas menengah pada masa itu di Belanda yang hanya 150 florin.

Tahun 1636, usaha bunga tulip menjadi salah satu bisnis yang perdagangan yang masuk dalam bursa saham dan diminati banyak orang. Kalangan pengusaha rela menjual tanah, rumah dan harta bendanya untuk berinvestasi di bisnis bungan tulip. Jenis bunga tulip yang sangat terkenal saat itu adalah jenis tulip yang bernama Viceroy, yang harganya bisa ribuan florin. Belanda menyebut fenomena "demam tulip" ini sebagai fenomena "wind trade" (perdagangan kontrak tulip) yang murni dilakukan dengan spekulasi. Ironisnya, masa keemasan bisnis bunga tulip di Belanda hanya berlangsung setahun, karena pada tahun 1637 pasar bunga tulip jatuh dan harga bunga tulip ikut melorot.
Sampai hari ini, istilah "tulip mania" atau "tulipomania" atau "kegilaan tulip" masih digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan goncangnya perekonomian karena munculnya spekulan terhadap sesuatu trend bisnis yang sifatnya untung-untungan. Meski cerita di balik "tulip mania" ini sedikit memalukan, tapi Belanda tetap mencintai tulip dan banyak orang yang tak ingat bahwa tulip-tulip yang indah dan cantik itu hasil budidaya dari jaman kekhilafahan Islam Turki Utsmani. (ln/isc)